Minggu, 15 September 2013


Kawah Putih adalah sebuah tempat wisata di Jawa Barat yang terletak di kawasan Ciwidey. Kawah putih merupakan sebuah danau hasil letusan Patuha. Tanah yang bercampur belerang di sekitar kawah ini berwarna putih, lalu warna air yang berada di kawah ini berwarna putih kehijauan, yang unik dari kawah ini adalah airnya kadang berubah warna.

Akses[sunting]

Untuk sampai di kawah putih pengunjung bisa menggunakan route perjalanan sebagai berikut: Pengunjung dari luar Bandung yang menggunnakan kendaraan roda empat dapat melewati jalur pintu Keluar Tol Kopo, melewati sayati dan dilanjutkan ke Soreang, dari soreang dilanjukan ke Ciwidey dan sampailah di lokasi kawah putih. Route alternatif bisa menggunakan jalur tol Buah Batu.

Kawah Putih (English: White Crater) is a striking crater lake and tourist spot in a volcanic crater about 50 km south of Bandung in West Java inIndonesia.[1]
Kawah Putih lake (7.10° S 107.24° E) is one of the two craters which make up Mount Patuha, an andesitic stratovolcano (a "composite" volcano).[2] Mt Patuha is one of numerous volcanoes in Java. Kawah Putih crater lake itself represents a relatively stable volcanic system with no records of significant activity since around 1600.[3]
The Kawah Putih site was opened to visitors in 1987. The lake is 2,430 meters above sea level so the local climate is often quite chilly (temperatures are frequently around 10 degrees celsius). This makes a brisk change from the humidity of the north Java plain and the capital city of Jakarta. Kawah Putih is a sizeable highly acid lake (pH 0.5-1.3) which changes colour from bluish to whitish green, or brown, depending on the concentration of sulfur and the temperature or the oxidation state.[4] The sand and rocks surrounding the lake have been also leached into whitish colours through interaction with the acidic lake waters (with possible mineral precipitation as well).

History[edit source | editbeta]

The lake is said to have been first documented in the western world in 1837 by Dr Franz Wilhelm Junghuhn, a German botanist who carried out a considerable amount of research in Indonesia until his death in Lembang, just north of Bandung, in 1864. At the time, there were various local stories about the history of the area. Birds were said to be reluctant to fly near the region and villagers in the area tended to regard the forest around the lake as eerie and somewhat mysterious. These stories prompted Dr Junghuhn to investigate. He discovered Kawah Putih. There was formerly a sulfur mine at the crater although production has now ceased. A sulfur plant known as the Zwavel Ontgining Kawah Putih was first established near the lake during the period of Dutch rule in Java. The plant was later taken over during World War II by the Japanese military and operated under the name Kawah Putih Kenzanka Yokoya Ciwidey.[5] Entry points to various tunnels which represent the remnants of these mining activities can be seen at several points around the current site.
Over a century after Franz Wilhelm Junghuhn first discovered the lake, in 1991 the Indonesian state-owned forestry firm Perhutani Unit III Jawa Barat dan Banten (Forestry Unit No III for West Javaand Banten) began to develop the site as a tourist spot.[6]

Senin, 02 September 2013

Maribaya... Keindahan Tiada Tara

MAribaya, punya banyak cerita.. keindahannya tersimpan seiring laju perkembangan zaman. Orang - orang di sekitar tempat ini takkan pernah menyadari kehadiran "Putri Cantik" karena ia ada diantara belantara beton yang seolah menutupi hijaunya panorama.

Sama seperti Tempat wisata lainnya yang selalu diiringi kisah- kisah di sekitarnya.. Maribaya juga memiliki mitos tersendiri. Konon, perkampungan kecil itu berasal dari nama seorang wanita cantik yang menjadi sumber kehebohan orang, terutana kaum pria. Perempuan tua cantik tersebut sangat khawatir akan nasib puterinya. Tapi, tak bisa berbuat apa-apa karena termasuk orang yang hidup jauh daripada berkecukupan.
Karena kecantikan puterinya, mereka takut akan terjadi malapetaka pada keluarganya. Terdorong ingin membahagiakan anak cucunya kelak, orangtua wanita cantik tersebut pergi bertapa ke Gunung Tangkuban Parahu.
Setelah mendapat dan menjalankan wangsit, menumpahkan bokor, muncul sumber air panas mineral mengandung belerang, dan jadilah sumber air panas yang dapat digunakan untuk pengobatan. Sejak saat itulah, banyak orang yang berkunjung ke tempat tersebut. Untuk berobat, berekreasi menghirup udara segar alam pegunungan, dan perbukitan. Demi mengenang puterinya, perkampungan kecil itu diberi nama sesuai dengan nama puteri cantik mereka, yaitu “MARIBAYA”.